[Experience] Bandara Muara Bungo (MRB)

Source Image

Muara Bungo pagi itu, suhu terasa lebih dingin namun harus segera bergegas kembali ke Jogja dan meninggalkan rumah untuk sementara. Dari subuh kami sekeluarga memang sudah saling mengingatkan untuk barang apa saja yang akan dibawaku ke Jogja.
Untuk kepulangan ke Jogja kali ini untuk pertama kalinya aku melalui Bandara Muara Bungo (MRB) yang hanya 20 menit perjalanan saja dari rumah sehingga tidak perlu lagi menempuh perjalanan Bungo-Jambi yang menghabiskan waktu cukup melelahkan hingga 6 jam.
Kenapa aku selama ini tidak memilih Bandara Muara Bungo (MRB) sebagai titik awal penerbangan ke Jogja adalah karna harga tiket yang cukup mahal menurutku dibandingkan jika melalui Bandara Sultan Thaha bahkan jika dari MRB bisa seharga dua kali perjalanan jika dari Jambi, maklum anak kosan harus banget perhitungan demi bisa bertahan hidup nantinya diperantauan, meskipun sebenarnya orang tua yang membelikan.
Untuk kali ini sedikit aku akan membahas terkait pengalaman pertama tentang bandara Muara Bungo, jika dilihat sekilas bandara ini mengingatkanku pada bandara Jambi yang lama dimana aku ketika dari atau ke pesawat tidak perlu naik kelantai 2 bandara terlebih dahulu sebab bandara saat itu masih tergolong kecil dan skalanya belum International nah itulah yang aku lihat dari Bandara MRB. Seluruh bangunannya masih baru dan mengkilap, karna memang bandara ini diresmikan baru beberapa tahun kebelakang, sempat vakum dan akhirnya kembali beroperasi dengan jam terbang setiap hari berbeda saat dulu yang hanya ada 3 kali jam terbang dalam seminggu, ini juga yang menjadi alasan kenapa tidak memilih terbang dari bandara MRB.
Dulu, pesawat yang digunakan tergolong pesawat kecil sejenis Jet star. Untuk sekarang masyarakat Bungo lumayan menikmati pesawat boing lebih besar yakni Sriwijaya Air dimana merupakan maskapai satu-satunya di bandara Muara Bungo oleh karna itulah kenapa harga tiketnya cukup mahal dikarnakan tidak adanya pesaing harga antar maskapai. Kisaran tiket yang dibayarkan untuk sekali penerbangan ke Jogja diatas 1,3 juta sekian bahkan bisa jauh lebih mahal dari itu.
Bandara yang mulai beroperasi sejak tahun 2012 ini berdiri diatas tanah yang diikhlaskan oleh Bapak untuk dibeli sepersekian meter oleh pihak bandara waktu itu, aku aja sampai heran kok ya bisa-bisanya tanah bapak menjadi salah satu yang terkena pembangunan bandara tersebut, tapi untungnya tetap ada uang untuk ganti ruginya waktu itu dari pihak bandara.

Seperti Bandara baru pada umumnya kondisi tempat cukup nyaman, toilet mushala disediakan oleh Bandara namun masih sedikit orang-orang yang berjualan di Bandara tersebut.
Sangking kecilnya bandara ini, saat setelah dipersilahkan masuk kedalam oleh AVSEC langsung barang-barang yang ku bawa melewati X-RAY kemudian check-in lalu diarahkan ke ruang tunggu yang berada disebelah kiri ruangan masih lantai satu sebelum ke ruang tunggu seperti biasa aku melalui pemeriksaan X-RAY lagi dan senengnya itu jarak antar masing-masingnya tidak lebih dari 8 langkah, tidak seperti bandara besar kebanyakan Yaiyalaah.
Saat sampai di ruang tunggu keadaan masih sepi penumpang bahkan bisa dihitung jari, baru kemudian 30 menit sebelum keberangkatan tiba-tiba saja ruang tunggu dipenuhi banyak orang, masyarakat Indonesia memang doyan on time mepet pikirku haha.
Kemudian avsec mengarahkan para penumpang keatas pesawat dan akupun terbang, menikmati perjalanan selama 1 jam 40 menit diatas awan, kelebihan dari maskapai Sriwijaya Air ini adalah penumpang mendapat snack dan air minum sekedar mengganjal perut yang sedang lapar kan lumayan gak kayak yang sebelah hehe.
Sampai di Bandara Soekarno Hatta ternyata aku tidak perlu menggunakan bus untuk mengantar ke terminal dan ruang tunggu berikutnya cukup bingung sih, sebab terbiasa naik bus dulu sebelum ke terminal selanjutnya maklum biasa pake li*n.
Karna bingung dan hampit exit dari bandara akhirnya nanya deh sama petugas bandara ternyata diarahkan ke CS transit Sriwijaya Air terlebih dahulu, jadi kesimpulannya saat ketika turun pesawat kita sudah langsung berada diterminal yang dituju tidak perlu lagi berdiri dan rebutan bus. Kemudian mb cs tersebut memberi intruksi agar naik kelantai 2 dan jalan ke kiri sampailah saya diruang tunggu F7 bandara Soeta kemudian aku melanjutkan penerbangan ke Yogyakarta dan See you babay.


[MyStory] KEMBALI KE TANAH RANTAU JOGJA


Rindu belum juga usai namun kenyataannya liburan tinggal menghitung hari, dan kembali dihadapkan pada realita untuk kembali melanjutkan studi di kota istimewa Yogyakarta.

Akhir-akhir ini seringkali terdengar berita duka dari berbagai grup yang aku ikuti, entah grup sekolah, kuliah, maupun beberapa organisasi yang memberikan berita seperti “Telah berpulang ke Rahmatullah keluarga (Ayah/Ibu)… dari teman kita bernama…”. Mengejutkan rasanya bagiku, dan bahkan diantaranya kepulangan tersebut tidak di sertai riwayat penyakit yang dimiliki. Seketika itu ucapan belasungkawa bergantian diucapkan secara terbuka bersama-sama dengan cara copy paste maupun dikirimkan secara pribadi. Mungkin dalam hal ini aku menjadi salah satu orang yang dianggap tidak peduli bukan berarti tak memiliki empati namun entah kenapa menurutku membaca ucapan belasungkawa tersebut sungguh menyayat hati, berbagai kata-kata menguatkan tentang kesabaran maupun ketabahan agar tegar tak tega aku membaca lalu mengirimkannya.

 Ada cara penguatan lain menurutku, selain langsung datang kerumah duka, mungkin memanjatkan do’a pada sang Pencipta adalah cara yang lebih baik dijadikan pilihan, sebab Ialah yang memiliki ketentuan untuk membolak-balikkan hati seseorang yang mungkin saat ini temanku tersebut hatinya sedang diliputi kesedihan yang tak kunjung usai pun dapat digantikan dengan kebahagian. Ketika bagian dari seseorang yang dicintai harus pergi selamanya dan hati yang diusahakan sekuat jiwa ragapun dikerahkan untuk mengikhlaskan, kesalutan aku berikan melihat ia yang sedang bersedih hatinya namun masih menyempatkan diri membalas ucapan bela sungkawa yang bermaksud menguatkan digrup yang ia ikuti.

Berbeda keadaan jikalau ucapan Selamat Ulang Tahun yang diberikan untuk seorang teman, jari jemariku dengan mudahnya menuliskan sebait Doa maupun pengharapan untuknya karna menurut budaya selama ini pertambahan usia adalah hal yang membahagiakan bagi sebahagian orang.

 Adanya kabar duka cita yang datang dalam waktu berdekatan, membuatku lebih sadar bahwa umur tak ada satupun yang mengetahui sampai kapan Tuhan memberikan kehidupan. Lantas, apa saja yang telah aku persiapkan? kemudian tertunduk lesu. Entah mengapa, seringnya membaca berita tersebut membuat hati berat meninggalkan rumah serta kembali ketanah rantau, tak menampik jika ada rasa khawatir ketika kepulanganku selanjutnya ada yang berkurang dari jumlah keluarga saat ini, khawatir tak mendengar canda tawa mereka nantinya, ataupun beradu argumen tentang artis layar kaca dan sebagainya.

Maka dari itu, setiap balik kerumah sebisa mungkin family time dengan keluarga, melihat aksi tak masuk akal dilayar kaca, ataupun membahas topik-topik ringan, dan sebisa mungkin menghindari intensitasku pada layar handphone yang sungguh menyita waktu meskipun disadari.

Mendengar cerewetnya emak, wejangan bapak, reseknya si adek, maupun religiusnya si abang benar-benar menjadi suatu hal yang aku syukuri hingga saat ini moment kebersamaan yang melebihi apapun itu, karna belum tentu ketika balik keperantauan nantinya intensitas komunikasi bisa sesering saat dirumah. Oleh karena itu, tak mudah menggadaikannya dengan kesibukan lain.

Belum lagi, beragam berita duka yang kudapatkan sudah tentu kembali menyadarkan diri bahwa orang tua tak lagi muda beragam kerutan menghiasi wajah beliau berdua, keluhan beragam penyakit pun sering terdengar ditelinga entah pegal linu, asam urat, pusing dan sebagainya.

Meskipun usia sudah masuk kepala dua, tetap saja kekhawatiran menghinggapiku kembali tentang bapak mamak yang akan semakin tua, melihat rambut hitamnya yang memudar bewarna keputihan, jalannya yang semakin melambat, meskipun begitu doanya tak pernah lupa selalu mengalir untuk anak-anaknya termasuk aku putri satu-satunya.

 Harapanku saat ini mungkin teramat sederhana bisa terus dapat merasakan senyum, tawa, marah, maupun cerewet keduanya lama-lama seperti tahun-tahun sebelumnya ketika datang kembali saat dimana mudik tiba, itu saja. Sebab, suksesku terasa tak lengkap tanpa beliau berdua “Orang Tua”.
Powered by Blogger.